SEJARAH AMATIR RADIO DI INDONESIA
& BERDIRINYA
ORARI
Pada saat berdirinya International
Amateur Radio Union (IARU) tahun 1925, wilayah nusantara
masih dikuasai oleh Belanda, dan pada saat itu tengah berkecamuk Perang Dunia
Pertama. Pada saat itu, komunikasi antara Netherland dengan Hindia Belanda
(julukan untuk wilayah Nusantara) hanya mengandakan saluran kabel Laut yang
melintas Teluk Aden yang dikuasai oleh Inggris. Timbul kekhawatiran Belanda atas saluran
komunikasi tersebut, mengingat Inggris terlibat dalam Perang Dunia Pertama
tersebut sedangkan Belanda ingin bersikap netral. Oleh karenanya, dilakukanlah
berbagai percobaan dengan menempatkan beberapa stasiun relay di Malabar,
Sumatra, Srilangka dan beberapa tempat lagi.
Radio Malabar, berdiri tanggal 5 Mei
1923, merupakan pemancar yang menggunakan teknologi arc transmitter
terbesar di dunia. Tampak pada gambar samping adalah dua buah arc transmitter
yang besar dengan kekuatan 2400kW yang dibuat oleh Klaas Dijkstra yang bekerja
untuk Dr. Ir. De Groot. Input power pemancar Radio Malabar adalah 3,6
MegaWatt dan bekerja pada frekuensi 49.2kHz dengan panjang gelombang 6100m
dengan menggunakan callsign PMM. Daya untuk pemancar Radio Malabar
dibangkitlan oleh sebuah pembangkit tenaga air buatan Amerika yang terletak di
Pengalengan dengan tegangan 25kV. Radio Malabar merupakan cikal bakal amatir radio di Indonesia dan merupakan radio
pertama di Indonesia untuk komunikasi jarak jauh. Frekuensi yang digunakan masih sangat rendah dalam panjang gelombang sangat panjang, tidak
mengherankan jika [[antenna]] yang digunakan harus dibentangkan memenuhi
gunung Malabar di Bandung Selatan. Sisa-sisa Radio Malabar masih terdapat di sana, yaitu
berupa tiang-tiang antena-antena
besar dan tinggi di tengah hutan.
Pada tahun 1925, Prof. Dr. Ir.
Komans di Netherland berhasil melakukan komunikasi dengan Dr. Ir. De Groot yang
menggunakan Radio Malabar di Pulau Jawa. Kejadian ini
merupakan titik tolak masuknya Komunikasi Radio di Indonesia, dan Pemerintah
Hindia Belanda mendirikan B.R.V. (Batavian Radio Vereneging) dan NIROM.
Para teknisi yang bekerja di kedua instansi ini umumnya adalah orang Belanda
dan ada beberapa Bumi putra, terus menekuni sistem komunikasi radio
dengan melakukan koordinasi dan eksperimen bersama para Amatir Radio di dunia. Mereka membentuk sebuah
perkumpulan yang dikenal dengan nama Netheland Indice Vereneging Radio
Amateur (NIVIRA). Seorang anggota NIVIRA Bumi Putra dengan Callsign
PK2MN, memanfaatkan kemampuannya dalam teknik elektronika radio untuk membakar
semangat kebangsaan dengan mendirikan stasiun radio siaran yang diberi nama Solose
Radio Vereneging (SRV) yang ternyata mendapat simpati rakyat.
Keberhasilan ini ditiru oleh
beberapa Anggota NIVIRA Bumi putra dengan mendirikan stasiun radio siaran
serupa, antara lain MARVO–CIRVO–VORO–VORL. Pada tahun 1937, mereka bergabung
dengan membentuk Persatoean Perikatan Radio Ketimoeran (PPRK). Perhimpunan ini
tidak dilarang oleh kolonial Belanda karena dengan banyaknya masyarakat
memiliki pesawat penerima radio
maka mereka akan dapat memungut pajak radio
sebanyak-banyaknya. Era pendudukan Jepang di Nusantara telah memusnahkan
seluruh perangkat komunikasi radio dan radio siaran yang ada, NIROM dikuasai
dan diganti namanya menjadi Hoso Kanry Kyoku, dan kegiatan Amatir Radio dilarang. Akan tetapi, Amatir Radio Bumi Putra tetap berjuang dengan
melakukan kegiatan secara sembunyi-sembunyi guna menunjang perjuangan
kemerdekaan dengan membentuk Radio Pejuang Bawah Tanah, dan tak sedikit Amatir Radio yang dipenggal karena dituduh
sebagai mata-mata Sekutu.
17 Agustus 1945 Proklamasi
Kemerdekaan dikumandangkan dengan menggunakan sarana sederhana karya para Amatir Radio, mulai dari mikrofon hingga
pemancar untuk menyebarluaskan Proklamasi Bangsa Indonesia ke seluruh dunia.
Akan tetapi, situasi ini tidak
bertahan lama. Tahun 1952 situasi negara tidak menguntungkan dengan munculnya
berbagai pemberontakan. Timbul kekhawatiran Pemerintah Amatir Radio akan
dimanfaatkan kaum pemberontak, maka di berlakukanlah keadaan darurat perang
(SOB) dan dikeluarkan Maklumat yang berisi: “Hanya pemancar radio milik
pemerintah yang boleh mengudara, dan perorangan tidak dibenarkan memiliki
pemancar radio“, dengan keluarnya maklumat tersebut, PARI terpaksa dibekukan.
Tahun 1965 merupakan sejarah pahit
bangsa Indonesia. Sementara tahun 1966 merupakan masa pergolakan mahasiswa yang
didukung masyarakat untuk menegakkan keadilan dan kebenaran di bumi pertiwi
ini. Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang berjuang dengan aksi
demostrasi memerlukan sarana komunikasi dan informasi setelah media Harian KAMI
dilarang terbit. Tanggal 14 Februari 1966, sekelompok mahasiwa publistik yang
tergabung dalam wadah KAMI membentuk radio siaran perjuangan bernama Radio
Ampera. Radio Ampera menginformasikan kepada masyarakat akan perjuangan mereka
dalam menumbangkan kezaliman Orde Lama dan menuntut pembubaran PKI. Stasiun radio
ini hanya betahan hingga tanggal 26 Februari 1966.
Dengan hilangnya Radio Ampera, para
laskar Ampera mendirikan berbagai stasiun radio pengganti, seperti FK UI, STTN,
Remaco, TU47 RC, RMD, RH22, RC77, Radio Fakultas Tehnik UI, Radio Angkatan
Muda, Kayu Manis, dan Draba. Sudah tentu semua radio siaran itu merupakan
siaran yang tidak memiliki izin alias Radio gelap. Dengan melakukan kegiatan
komunikasi koordinasi kesatuan aksi dan siaran radio perjuangan, semua stasiun
radio tersebut menamakan diri sebagai Radio Amatir. Terbentuknya ORARI boleh
dikatakan berawal di Jakarta dan Jawa Barat atau pulau Jawa pada umumnya dan
diprakarsai oleh kegiatan aksi mahasiwa, pelajar, dan kaum muda.
Jumlah stasiun-stasiun radio amatir
terus bertambah dengan pesat. Akibatnya, frekuensi kian tidak terkendali dan
pengertian radio amatir menjadi kabur. Beberapa tokoh Amatir Radio berupaya untuk menjernihkan
suasana dengan membentuk perkumpulan-perkumpulan, antara lain: Persatuan
Amatir Radio Jakarta (PARD), Persatuan Amatir Radio Bandung (PARB), Persatuan
Amatir Radio Indonesia (PARI), dan Persatuan Radio Amatir Indonesia (PRAI).
Perkumpulan ini dibentuk dengan maksud untuk mendata stasiun radio amatir yang bermunculan serta melakukan
bimbingan serta pengawasan dan pengedalian terhadapnya. Diadakanlah pendataan
dan ujian bagi yang berminat serta diterbitkanlah tanda pengenal dan izin
mengudara, baik untuk komunikasi dan eksperimen maupun untuk siaran.
Sadar karena semakin banyaknya radio
siaran bermunculan, yang memerlukan suatu koordinasi demi tercapainya
perjuangan Orde Baru (ORBA), maka dibentuklah, pada tahun 1966 oleh para
mahasiwa, suatu wadah yang diberi nama PARD (Persatuan Radio Amatir Djakarta. PARD
merupakan wadah bagi para amatir radio dan sekaligus radio siaran sehingga saat
itu secara salah masyarakat mengidentikan radio amatir sebagai radio siaran
non-RRI. Oleh karena adanya tingkatan keterampilan, PARD saat itu juga
menyelenggarakan ujian kenaikan tingkat.
Pada
tanggal 9 Juli 1968, di Jakarta, para
pimpinan perhimpunan Amatir Radio dan sejumlah calon anggota yang berdomisili
terutama di pulau Jawa, berkumpul dan
sepakat untuk melebur dalam sebuah wadah tunggal yang disebut sebagai ORARI
(Organisasi Radio Amatir Republik Indonesia).
Selanjutnya dalam kongres ke 2 namanya disempurnakan menjadi ORGANISASI AMATIR RADIO INDONESIA (ORARI)
. Dengan demikian tanggal 9 Juli
1968 merupakan hari lahirnya ORARI dan hari Amatir Radio Indonesia. (*)